Tadi,
aku sempat membaca raut wajahnya yang tersiram hujan. Tangannya gemetar,
bibirnya sedikit pucat tak seperti biasanya yang merah marun. Senyumnya merekah
ketika pagi menghampiri, satu persatu kaki-kaki mungil diantar oleh sopir
bertandang ke gubuknya, di bibir pintu, sosok rembulan tunduk dan memeluk
hangat mereka.
Pukul
9.00 tak ada lagi senyumnya di ujung gang, pintu gubuk pelangi sudah tertutup
rapat. Yang terdengar hanya nyanyian merdu yang keluar dari bibir-biri mungil,
sesekali aku mendengar suara merdunya.
Yang
kutunggu saat terik mulai meninggi, ketika perlahan jemari lentik menyibak
lembar demi lembar jendela dan pintu gubuk. Satu persatu bocah mungil keluar dan
bermain. Dibawah pohon rindang yang teduh, aku melihatnya duduk, wajahnya ceria
seperti langit siang ini. Terkadang, sesekali ia berlari dan memeluk kaki-kaki
mungil yang berhamburan kearahnya.
Rasanya,
berjuta-juta senyum manis dari lesung pipinya yang merekah sudah kuabadikan
dalam memori terdalamku. Suatu saat jika tiba-tiba rindu menyapaku, tak butuh
waktu satu menit bayanganmu sudah muncul dihadapanku. Sebab, pada setiap detik
yang berdetak, ada hati yang selalu setia merekam gerak-gerikmu di
persimpangan. Terkadang aku tak kuasa menyimpan beribu-ribu rasa yang terseok, untuk
bangkitpun aku tak mampu.
Tak
seperti biasa, halamannya penuh dengan karangan bunga. Tiba-tiba ia keluar,
disampingnya sosok gagah yang aku kenal. ayahku…
***
Siak,7/2/2013
Written by : @hmzwan