Saturday 14 September 2013

Jamu dan Tradisi Turun-temurun



Awal bulan juli kemarin saya mengalami satu kondisi dimana saat itulah seumur hidup saya baru pertama kali mengalami drop gara-gara minum jamu. Sudah menikah dua tahun tapi Allah belum memberikan titipan kepada kami seorang anak, dan tanpa sepengetahuan saya ibu membuatkan saya jamu. Dengan harapan agar anaknya (saya) lekas diberi titipan seorang anak, siapa tahu lewat perantara jamu yang ibu racik. Kebetulan keluarga kami suka jamu karena ibu sering membuat dan meracik jamu sendiri, tanpa banyak tanya ketika ibu menyuruh saya meminum jamu tersebut saya langsung meminumnya. Satu jam kemudian perut saya melilit, ibaratnya seperti diaduk-aduk, mual dan ingin muntah. Tapi sampai dua jam tidak juga muntah hanya merasa mual yang sangat hebat, saya merasa sangat tersiksa dengan kondisi tersebut. Sampai akhirnya jam tiga sore saya muntah, rasanya benar-benar sakit di tenggorokan. Selain muntah, saya juga BAB itupun yang keluar cairan. Bagi saya seumur hidup baru kali ini saya mengalami muntaber (muntah dan berak), rasanya memang menyiksa sekali karena mungkin baru pertama kali. Merasa mual dan tiba-tiba muntah berupa cairan bukan nasi, ada kurang lebih sepuluh kali begitupun dengan BAB. Jam lima sore saya langsung di bawa ke dokter dan dokter menganjurkan untuk meminum degan hijau, setelah minum degan hijau terakhir muntah jam tujuh malam. Setelah itu makan nasi dan minum obat, paginya Alhamdulillah sudah membaik dan langsung berangkat ke bandara menuju Batam.
 

Dari kejadian tersebut, saya tersadar bahwa sebelum minum jamu kondisi perut saya dalam keadaan kosong. Sama sekali belum terisi nasi, dan saya langsung meminum jamu yang diberikan oleh ibu saya. Biasanya jamu diminum sebelum makan, tapi berhubung jamu juga bisa merangsang lambung, maka jamu bisa diminum setelah makan. Sehingga tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti yang saya alami, karena kebetulan saya punya riwayat maag dan asam lambung sering naik maka terjadilah goncangan di dalam perut yang mengakibatkan muntaber.

Sebenarnya minum jamu sudah menjadi bagian dalam keluarga saya, sejak kecil ibu sering meracik jamu untuk konsumsi sendiri terkadang diberikan kepada tetangga. Lebih sering membuatkan oleh-oleh jamu jika ada tetangga yang sakit. Beberapa jamu yang sering dibuatkan ibu, ada tiga jamu yang kebetulan saya catat di buku resep. Setidaknya jika saya ingin membuat jamu tinggal beli bahan di pasar tradisional dan menggodok sendiri di rumah, bahkan kalau saya merasa kecapean dan pas telpon ibu langsung disuruh membuat jamu.


Jamu beras kencur
Bahan : kencur, jahe, bawang putih, merica, asem jawa, gula, garam
Cara : di godok semuanya sampai airnya setengah
Biasanya ini diminum saat badan terasa capek, pegal linu.

Jamu pait-paitan
Bahan : temulawak/temuireng, lidah buaya, daun meniran, lempuyang, daun sirih
Cara : di godok semuanya sampai airnya setengah
Biasanya ini diminum saat perut mules, sariawan, panas dalam, ambeien.

Bedak beras (jamu berupa bedak)
Bahan : beras, kunir, bunga kenanga
Cara : beras di rendam dengan air selama beberapa hari, setelah itu di remat sampai lembut lalu disaring dengan kain tipis, parut kunir dan ambil airnya lalu campurkan ke beras yang sudah lembut, biarkan sampai airnya habis, lalu campur dengan bunga kenanga, bentuk bulat-bulat kecil lalu di jemur.
Bisa digunakan untuk lulur badan dan masker wajah.
 
 ini bedak beras buatan ibu,ambil 2 butir lalu tambahkan air jadlah masker untuk wajah 

Saat ini mayoritas masyarakat Indonesia jika sakit lebih memilih untuk melakukan penyembuhan melalui jamu, mungkin sebutan jamu lebih mengarah ke zaman dahulu, kuno, embah-embah, nginang, obat tradisional dan lain sebagainya. Tapi belakangan ini jamu lebih popular dengan sebutan herbal atau herba. Jamu sendiri dibuat dengan berbagai bahan alami yang ada disekitar kita, mulai dari akar, buah, daun hingga kulit batangnya. Dan cara pengolahannya pun tidak terbilang rumit, ada yang hanya di godok atau di rebus saja hingga mendidih terkadang hingga airnya setengah dari takaran awal.  Ada juga yang di parut lalu di peras dan di saring lalu langsung di minum, ada juga yang setelah di saring di campur dengan air matang dan ditambah madu sehingga tidak terasa pahit dan getir.

Saat ini penjual jamu ada di mana-mana, di Batam jamu gendong bisa saya temui di depan pasar tradisional, jamu motor (penjualnya naik motor) bisa saya temui di komplek tempat saya tinggal karena penjual jamu motor ini selalu keliling di komplek setiap pagi. Sedangkan jamu yang sudah di kemas dan di bungkus bisa saya temui di apotik dan rumah herbal. Jamu selalu identik dengan racikan yang di minum, tapi ada juga jamu dalam bentuk bedak yang di gunakan untuk perawatan/lulur badan dan masker wajah, namanya bedak beras.

Jamu memiliki banyak khasiat dan manfaat, jika sakit pusing dan pegal-pegal saya lebih memilih untuk tidak mengkonsumsi obat modern. Minum madu dan air hangat lalu tidur menggunakan baju tebal dan istirahat. Manfaat jamu tidak hanya bertahan satu atau dua hari saja melainkan dapat bertahan lama untuk kesehatan dan kecantikan. Menurut saya, sampai saat ini tradisi minum jamu tidak tergerus oleh zaman yang semakin hari semakin modern. Saya kira ketika saya pindah ke Batam tidak akan lagi menemui penjual jamu gendong, ternyata salah. Hampir beberapa kali singgah dan belanja di pasar tradisional yang berbeda saya masih bisa menemui mereka, ada yang masih di gendong, ada yang naik sepeda ontel, bahkan ada yang menggunakan sepeda motor. Jika di Jawa saya lebih sering menemui penjual jamu di siang hari, maka di Batam saya menemui penjual jamu di pagi hari dan itupun antri. Tidak hanya ibu-ibu saja yang membeli tapi bapak-bapak yang menunggu istrinya belanja juga membeli jamu. Sungguh, sampai kapanpun jamu tetap ada karena memang sudah menjadi tradisi dan kebiasaan dari kecil. Jika saat ini banyak orang yang memilih kembali ke alam, lalu bagaimana dengan anda?
Semoga bermanfaat…