"Buk, sampean mantun sakit to?"
"Loh, dikandani sopo?"
"Mbak obi"
Demikianlah sepenggal dialog antara saya dan ibu beberapa waktu yang lalu, tepatnya dua minggu selesai hari raya. Saat itu saya mendapat kabar dari mbak kalau ibu sedang sakit perut, setelah saya kroscek langsung ke ibu, ternyata maghnya kumat. Penyakit lebaran yang selalu menghampiri, sakit perut karena makan campur-campur, apalagi pas momen halal bihalal. Semua makanan tumpah ruah, mulai dari buah, snack, kue kering, kue basah sampai makanan berat seperti gulai, opor, sate, bakso dan lain sebagainya. Setelah di bawa ke dokter dan minum obat, seperti biasa, bukan ibu namanya kalau tidak membuat jamu racikan sendiri. Dari kecil saya sering melihat ibu buat jamu godog yang di rebus di tempat yang terbuat dari tanah liat, lalu diminum bersama alm abah, dan anak-anaknya juga termasuk saya. Meskipun tidak banyak setidaknya lidah saya pernah merasakan rasa dari air berwarna cokelat tersebut, pait-pait gimana gitu. Emang sembuh??alhamdulillah rasa klunyur-klunyur yang ibu rasakan di daerah ulu hati (katanya) hilang, badan terasa lebih hangat. Tidak susah mencari bahannya, hanya lempuyang dan daun sirih saja, digodok lalu diminum hangat-hangat.
Seminggu setelahnya ketika saya telpon ibu, beliau cerita kalau cak Rochim (tetangga yang dulu ngaji di rumah) sakit liver dan menginap selama dua hari di rumah sakit. Yang membuat ibu kaget (saat cak Rochim bercerita), sebelum pulang cak Rochim diberi pesan resep jamu oleh dokter. Cak Rochim disuruh beli temulawak 1 kg dan temuireng 1 kg, digiling atau di parut, lalu dicampur dengan air 1 liter, disaring atau diperes lalu diminum. Resep tersebut untuk 1 hari, diminum secara pelan-pelan. Dan
alhamdulillah sekarang cak Rochim sembuh, kalau livernya terasa kambuh biasanya ia langsung meminta istrinya meracik resep tersebut. Begitulah ibu, hampir setiap saya telpon selalu ada secuil cerita tentang jamu yang disisipkan. Dan, setiap beliau cerita atau memberi saya resep jamu baru, maksudnya baru saya tahu, selalu saya tulis di buku catatan, siapa tau nanti butuh jadi langsung buka buku.
Jamu Sebagai Warisan Kebudayaan Dunia
Selintas membaca kembali tulisan Jaya Suprana "Jamu Sebagai Warisan Kebudayaan Dunia" (kompas,29 maret 2013) di Biofarmaka.ipb.ac.id
yang mana ia sempat bahagia ketika mendapat kabar dari wakil Menteri
Kebudayaan Prof Dr, Wiendu Nuryanti dan Direktur Jendral Kebudayaan Prof
Dr. Katjung Marijan bahwa jamu telah resmi dipersiapkan Kemendikbud
untuk resmi diajukan ke lembaga kebudayaan PBB UNESCO demi memperoleh
pengakuan sebagai Warisan Kebudayaan Dunia karsa dan karya bangsa
Indonesia. Mungkin bukan hanya Jaya Suprana yang bahagia atas kabar ini,
tapi lapisan masyarakat Indonesiapun sangat mendukung kesungguhan
tersebut, mulai dari tukang jamu
ider, jamu gendong, jamu toko, orangtua, masyarakat luas, sampai pemerintah.
Siapa yang tidak kenal jamu, terbuat dari tanaman obat yang banyak kita
jumpai di pasar tradisional. Salah satu warisan budaya yang turun temurun dari nenek moyang yang
sampai saat ini masih menjadi budaya bagi sebagian besar masyarakat
Indonesia, termasuk keluarga besar ibu saya. Berbagai tanaman obat yang kaya akan manfaat tersebar luas di
Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke. Diramu dengan cara
sederhana, mulai dari di godog, diperas sampai dengan cara di parut dan
diminum mentah. Salah satu tanaman obat yang banyak manfaatnya dan
banyak digunakan untuk obat tradisional atau pencegahan penyakit adalah
jahe, seperti pereda flu, masuk angin, batuk, sakit kepala dan lain
sebagainya.
Jika mungkin sepuluh tahun yang lalu, banyak yang menganggap remeh
khasiat dan kebiasaan minum jamu, tapi tidak dengan akhir-akhir ini,
dimana masyarakat sebaliknya memilih untuk kembali ke alam atau herbal.
Mengenal lebih dekat berbagai tanaman obat, bahkan banyak sebagian
masyarakat yang memilih untuk menanan tanaman toga di pekarangan rumah.
Tidak terlalu sulit membuat jamu sendiri karena kita bisa mendapatkan
informasi dari mana saja, mulai dari orangtua hingga konsultan herbal yang marak di
televisi. Bahkan tercatat puluhan riset PSB-IPB telah dipatenkan dan berpotensi tinggi
untuk dikomersilkan. Kementerian Riset dan Teknologi saat ini
menginisiasi kerja sama antara PSB-IPB dengan industri jamu di bawah
koordinasi Gabungan Pengusaha Jamu. Jika dulu saya belum pernah mendengar ada dokter yang menganjurkan atau memberikan langsung resep jamu kepada pasiennya, kini setelah mendengar cerita dari ibu, rasanya tidak percaya dan kaget. Dokter memberikan resep jamu ke pasiennya?ini sungguh diluar dugaan saya sebelumnya, karena yang saya ketahui dokter masih anti dengan jamu, tapi tidak dengan dokternya Cak Rochim.
Saya bersyukur sekali karena sampai detik ini masih terus melestarikan warisan budaya nenek moyang yaitu dengan mengkonsumsi jamu, baik dengan cara meracik sendiri ataupun beli di tukang jamu
ider (keliling) yang selalu lewat di depan kos-kosan. Siapa yang tidak mau sehat dan cantik dengan jamu, untuk itu mari kita lestarikan jamu sebagai warisan budaya yang turun temurun, jangan sampai warisan ini hilang dan tergerus oleh peradaban yang semakin berkembang. Jika bukan kita, siapa lagi...
***
27 agustus 2014
hana_tia@yahoo.com / @hmzwan
Referensi :
http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-upt/brc-ukbb/bccs-collection
http://biofarmaka.ipb.ac.id/publication/journal
http://www.beritasatu.com/kesehatan/128950-pusat-studi-biofarmaka-ipb-rintis-obat-herbal-dan-jamu.html
http://biofarmaka.ipb.ac.id/brc-news/brc-info/501-info-jamu-as-world-cultural-heritage-2013