11 Desember 2012
12.43 wib
Dadaku berdetak kencang, entah
penyebabnya apa akupun tak tahu. Yang ada hanya suara pintu terbuka. Perlahan
aku turun dari ranjang tempat aku berbaring saat ini, dan berjalan menuju ruang
tamu. Tak ada siapa-siapa, hanya jejak sandal yang mengotori ruang tamuku. Aku
melihat amplop berwarna berwarna biru yang tergletak di meja, apa ini?batinku
dalam hati.
12 12
12
Hanya tiga baris dengan angka yang
sama, ditulis dengan bolpoin merah besar. Entah siapa yang berani masuk rumahku
siang bolong seperti ini. Dirumah ini hanya ada dua kunci pemberian dari bu
Meli, warga setempat yang mengontrakkan rumahnya pada kami. Aku bawa satu, satu
lagi dibawa oleh suamiku Wingli. Jam segini tidak mungkin Wingli pulang dan
tanpa bertemu denganku, aneh.
Aku dan Wingli menikah hampir 10
tahun, belum dikaruniai anak satupun. Aku tahu Wingli sibuk dengan
pekerjaannya, bisa dihitung denga jari. 10 tahun pulang 10 kali saat bulan juli
dan hanya satu jam ia berada di rumah,hanya membawa oleh-oleh dari tempat ia
berlayar dan langsung berkemas lagi meninggalkanku. Komunikasi antara kamipun
tidak lancar, aku hanya bisa diam dan tak mampu berkata. Kata tetangga Wingli
sudah menikah lagi, tapi aku tidak serta merta mempercayainya. Aku lebih suka
menyendiri di dalam rumah, bukankah menjadi tuli itu lebih berharga dari
segalanya?.
17.30 wib
Setelah membereskan dapur, aku
berniat untuk membuang sampah yang sudah bau dan hampir membusuk. Tapi
langkahku dikagetkan oleh lembaran kertas putih yang berukuran besar, perlahan
aku mengambil kerta itu dan membaliknya. Lagi-lagi tulisan angka tiga baris
yang sama, 12 12 12. Aku menghela nafas panjang, dengan menjinjing kantong
plastik aku keluar dan membuang sampah. Di warung depan segerombolan ibu-ibu
sudah memandangku, seolah-olah aku seorang buronan atau bahkan lebih dari itu. Lagi-lagi
aku memilih untuk tuli dan buta.
12 Desember 2012
11,40
Siang
ini aku bersiap mengepak seluruh barang milikku, untuk apa aku tinggal di kota
Jakarta seorang diri. Bahkan sepertinya dunia sudah menolakku untuk berada di
bumi ini, aku lelah. Satu surat perceraian aku masukkan dalam amplop coklat,
untuk Wingli. Bukan karena aku masih perawan, aku lelah dengan keadaan ini. Aku
ingin pulang memeluk emak di
Lamongan, mengajar les dan tanpa satu ikatan.
12.12 wib
Aku
mendengar suara ketukan pintu, sosok yang aku kenal tapi tidak seperti
biasanya. Duduk di kursi roda dengan memakai kaos merah hati pemberianku,
Wingli. Aku terdiam beberapa menit, tak berapa lama aku mendengar Wingli
bersuara.
Sepurane seng
akeh yo dek…sepurane seng akeh…
Ujarnya sambil berlinang air mata, deras sekali
batinku dalam hati. Tanpa disuruh, spontan aku bertekuk lutut dan mencium
tangan yang dulu lembut kini menjadi kasar. Entah apa yang terjadi dengannya,
aku tak tahu. Nomor handphone-nya
tidak lagi bisa dihubungi dua tahun ini, dan saat ini Wingli ada di depanku.
Duduk di kursi roda, dengan hanya satu tangan tersisa. Aku memeluknya
erat-erat…
--Batam,13 desember 2012--