Jika ditanya aroma apa yang sangat membekas di hati sampai saat ini?dengan sigap saya langsung menjawab kopi. Saya mengenal aroma kopi saat saya menjalani PKL (praktek kerja lapangan) di salah satu kampung terpencil yang berada di puncak gunung Rajegwesi Ponorogo, saat itu pertama kali kami menginjakkan kaki pada malam hari dan disambut oleh kamituwo dan beberapa warga desa. Saat itulah saya diperkenalkan dengan kopi dan aromanya yang benar-beanar melekat sampai saat ini, kopi yang berbeda dengan kopi-kopi yang ada di perkotaan. Kopi di kampung ini ada campuran jagungnya, terkadang setiap pagi saat mata saya belum terbuka aroma kopi inilah yang menyapa saya dan teman-teman sehingga kamipun perlahan terbangun untuk menikmati secangkir kopi dan teh hangat buatan mbah Katirah.
Dari situlah saya mengenal aroma kopi sesungguhnya, setelah pulang dari PKL dan kembali ke Malang. Saya lebih sering membeli kopi saset *maklum anak kos hehehe*, pagi hari sebelum berangkat kuliah ataupun saat malam tiba saya sering meracik kopi. Sesekali jika ada inspirasi menulis di Kompasiana, kopi inilah yang menjadi teman setia saya. Sejak moment PKL itulah saya mengenal aroma kopi yang sesungguhnya, bahkan sampai saat inipun meski saya sudah tidak lagi mengkonsumsi kopi tapi ketika saya membuatkan kopi untuk suami. Saat mengaduklah saya benar-benar menikmati aromanya dengan memejamkan mata, sungguh aromanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Just the sweetest thing ever.....
Dan, inilah aroma kopi yang tertuang dalam salah satu poem saya....
ANTARA HUJAN, SENJA, DAN KOPI
/1/
Rindu kamu itu candu
Seperti aku yang tak bisa lepas
dari hujan
Yang perlahan menyemai buih-buih
gerimis
Menjadi rasa yang tak mampu
merasa
/2/
Rindu kamu itu candu
Seperti aku yang tak bisa lepas
dari senja
Saat lembayung jingga perlahan
mencumbuku
Saat itulah sebuah rasa menjadi
bara
/3/
Rindu kamu itu candu
Seperti aku yang tak bisa lepas
dari kopi
Semburat asapnya mampu mengoyak
jiwa yang ruah
Dari sendu yang kelabu menjadi
menggebu
(By: HM Zwan)
******