Perkembangan
teknologi dan informasi saat ini sangatlah tidak bisa djauhkan dari masyarakat,
mulai digunakan hanya sekedar untuk komunikasi, mencari informasi, menyebarkan
satu kabar ataupun reportase. Masyarakat dengan bebas bereksprei sesuai dengan
keinginannya, tapi tidak sebebas-bebasnya dalam arti masih ada batasan-batasan
yang berlaku. Kebebasan berekspresi identik dengan kebebasan berbicara yang
mengacu pada hak untuk berbicara bebas tanpa adanya batasan tetapi tidak untuk
hal-hal yang menyebarkan kebencian. Sedangkan kebebasan informasi mengacu pada
hak asasi manusia yang diakui oleh hokum internasional dalam mendapatkan sebuah
informasi dengan bebas.
Siapapun bisa
mempublikasikan segala hal yang berhubungan dnegan informasi, entah itu berupa
ide, opini, ataupun sekedar reportase ke media sosial. Lagi-lagi dengan bantuan
perkembangan teknologi informasi yang semakin canggih, bermacam-macam informasi
bisa kita publikasikan lewat internet. Munkin dulu hanya sebatas radio, televise
dan surat kabar, tapi sekarang bisa dengan media sosial yang luas. Mulai dari facebook, twitter, dan blog. Semua informasi bisa kita
publikasikan dengan sesuka hati kita, bisa dengan menggunakan salah satu,
bahkan tiga-tiganya juga bisa. Sesuka hati boleh namanya juga bebas berekspresi
tapi tetap mengacu pada batasan-batasan yang diberlakukan.
Kebebasan berekspresi dan kebebasan
informasi di negara-negara anggota ASEAN tidak sama. Beberapa negara, termasuk
Indonesia, bebas atau longgar dalam hal kebebasan pers dan kebebasan
berekspresi bagi para blogger, yang sekarang ini menjadi salah satu alternatif
dalam penyebaran informasi atau jurnalis warga. Tetapi ada juga negara yang
mengekang kebebasan berekspresi warganegaranya, dan ada negara yang
memenjarakan blogger jika tulisannya menentang pemerintahan negaranya.
Bagaimana
dengan Filipina? Apakah Filipina termasuk negara yang longgar dalam kebebasan
berekspresi dan informasi bagi para warganegaranya, termasuk blogger atau jurnalis
warga?
Meskipun kebebasan berekspresi dan
berinformasi di Indonesia sudah tertuang dalam UUD 45, tapi dalam prakteknya
tetap saja banyak pengguna sosial media (entah itu pengguna facebook, twitter, pewarta, blogger,
dll) yang mengalami tekanan dari hal yang sebenarnya sepele. Misalnya saja
pasal pencemaran nama baik, seringkali digunakan oleh mereka yang tidak sepakat
dengan informasi yang dilakukan oleh pihak lain entah itu berupa jasa pelayanan,
klaim, atau sekedar kritikan dan berujung ke pengadilan.
Jika di Indonesia kebebasan berekspresi
dan berinformasi tidak terlalu ketat, berbeda lagi dengan negara Filipina,
berkomentar di facebook aja bisa-bisa langsung dipenjarakan. Undang-Undang Pencegahan Kriminal Siber (Cybercrime Prevention Act) 2012,
dan telah ditandatangani oleh presiden Filipina
Benigno Aquino III pada12 september lalu. Di undang-undang tersebut dikatakan
bahwa seseorang dapat dinyatakan bersalah dan akan mendapatkan denda serta dipenjara
karena komentar memfitnah di media sosial, dunia maya, termasuk komentar yang
ada di facebook, twitter, atau blog. Sebuah
undang-undang yang terkait dengan kriminal di dunia maya tersebut banyak menuai
protes dari berbagai kalangan dan kelompok termasuk wartawan karena akan
menganggu kebebasan berekspresi dan berinformasi.
Bagi kalangan pewarta warga, pers, jurnalis
mungkin akan terasa mematikan pekerjaan mereka, bayangkan saja jika kebebasan
dalam berekspresi dan berinformasi benar-benar di perketat. Mereka tidak akan
bebas menyampaikan sebuah informasi, opini, ataupun ide. Karena di bayang-bayangi
oleh sebuah undang-undang yang ketat. Termasuk
banyaknya berita yang beredar di sosial media yang memberitakan bahwa banyak petugas
pers termasuk wartawan Filipina yang dibunuh. Salah satu penyebabnya disuga
adanya kebudayaan impunitas, yaitu lambannya penegakan hukum. Yang akhirnya menyebabkan
orang-orang yang memiliki potensi melakukan kekerasan tak merasa takut dan jera
menghadapi tindakan hukum.
Membaca berita tentang nasib para
jurnalis yang di bunuh benar-benar membuat saya ketakutan sendiri, saya rasa
masih beruntung di Indonesia karena masih ada batasan-batasan tersendiri
berekspresi dan berinformasi melalui media sosial. Tapi, apapun itu kembali
lagi ke negara masing-masing. Setiap negara memiliki kebijakan dan aturan
masing-masing dalam kebebasan berekspresi dan berinformasi. Dengan adanya
kebijakan-kebiajakan yang sudah diatur, selayaknya kita menulis,
menginformasikan, mempublikasikan apa yang kita tulis dengan bijak. Karena bebas
bukan berarti sebebas dan semau kita, semua ada aturannya, semua ada etikanya.
Referensi