Sebenarnya, jika saya membahas tentang Joe sampai kapanpun tidak akan ada habisnya. Joshua, saya memanggilnya Joe. Salah satu murid palaygroup saya dan dia kebetulan usianya paling kecil ketika masuk kelas playgroup bulan juli yang lalu, saat itu saya baru pertama kali mengajar kelas palng bawah yaitu playgroup. Karena dari saya lulus kuliah jurusan Psikologi saya memilih untuk terjun ke dunia pendidikan dan mulai mengajar SMP dan SMA.
ini Joe,ini diambil waktu Joe jatuh itupun langsung berdiri dan lanjut lari lari hahaha...
Sejak di Batam saya mulai mengajar playgroup, kok playgroup??hehe jauh bangettt yak...dan akhirnya saya dipertemukan dengan Joe. Awal masuk dari bulan juli sampai oktober anak ini benar-benar aktif sekali,saya pegangpun tidak bisa bertahan lama. Mungkin paling lama 10 detik hehehe..ampun deh ini anak. Saat anak-anak yang lain duduk manis, si Joe berlari kesana kemari tidak mau diam. Hingga akhirnya ketika saya mendapat panggilan dari kepala sekolah dan berhenti mengajar playgroup pindah menjadi guru bimbingan dan konseling. Joe mulai aneh dengan perilakunya, Joe sering duduk manis di kursi saat saya menyanyi di depan. Ketika saya ataupun patner saya berteriak (memanggil anak-anak,maklum rammme bangettt jd harus teriak pemirsah hehe) Joe tiba-tiba menangis sesenggukan tapi tidak bersuara, sontak saya peluk dan dia memeluk saya. ah, manis sekali bukannn....
Sehari sebelum liburan,i love u joe...tak mau jauh ternyata hehe...
Saat ini saya sudah tidak lagi mengajar di kelas playgroup, tapi untungnya kantor saya dekat dengan kelas playgroup. Ketika breaktime tiba Joe dan anak-anak lain pasti mampir di kantor saya untuk say hello...."hai miss hana...",ah anak-anakku....I love you ^_^
**sampai saat ini kalo Joe menagis pasti dibawa ke kantor saya hehe,ah Joe....tapi sayang bulan depan Joe pindah ke malaysia hickz, big hug for Joe...
Hai
haiiii…kali ini saya ikutan GA-nya si biru mbk idah nih, kebetulan saya memilih
kategori pandangan pertama. Tak usah berbelit-belit, langsung ajalah….
Bicara
tentang pandangan pertama first sight
atau first impression, tentunya
banyak dari kita yang tertuju pada CINTA. Tapi kali ini bukan tentang cinta melainkan tempat,
yaitu daerah rumah calon mertua. Ketika saya membaca blog GA-nya mbk Idah yang
salah satu kategorinya yaitu tentang pandangan pertama, sontak ingatan saya
tertuju pada saat pertama kali saya dan keluarga pergi ke rumah calon mertua
saya (waktu itu tahun 2011) yang ada di Ponorogo. Bagi saya Ponorogo bukan
daerah yang asing bagi saya karena kebetulan 7 tahun saya bersekolah di daerah
ini, dan kebetulan juga dekat dengan rumah mertua saya. Dan saya tidak
mendugannya…
Alkisah,
ehm…saya diperkenalkan oleh adik kelas di pesantren temannya yang sedang
mencari jodoh yang saat itu bekerja di Batam, setelah kami berkenalan. Dan idul
fitri tahun 2010 kami bertemu, bulan juni saya dilamar. Alhamdulillah, di bulan
juli akhir saya dan sekeluarga mengembalikan lamaran ke Ponorogo. Jujur, kami
berkenalan dan taaruf jarak jauh
belum pernah sama sekali ke rumah calon suami saya. Dan ini pertama kalinya, hanya
ada alamat di handphone saya. Saya dan kemuarga berangkat pukul 07.00 sampai
di Ponorogo pukul 12.00, sesampainya di SMA Sambit kami di jemput oleh pamannya
calon suami saya. Dari jalan raya menuju Sawo akhirnya kami masuk ke jalanan
yang tidak beraspal, kami kira rumahnya dekat dengan jalan raya dan ternyata
masih jalan juga motor paman yang kami ikuti. Dari yang banyak rumah, tidak ada
rumah hingga naik turun bukit. Ya Allah, mimpi apa saya semalam hahaha…dari
masuk tinkungan jalan tidak beraspal sampai mobil yang kami tumpangi berhenti
di depan rumah calon mertua saya. Saya dibanyol sama kakak, paman,
bahkan ponakan-ponakan saya yang usianya 3 tahun.
“ngimpi opo is is awakmu
mambengi…”
“kurus koyok’e awakmu ndek
kene,lha gak nok warung I ket mau…”
“ngonong tenannnn omahe….”
“walah is nek tukaran ambek
bojomu sesok piye, gak iso moleh nang Jombang..la adoh dalan i…”
“nemu bojo ndek endi awakmu iki…”
Inilah
sedikit banyolan-banyolan kelaurga saya saat perjalanan dari jalan yang tidak
beraspal hingga depan rumah calon mertua saya, saya dan keluarga hanya bisa
tertawa terbahak-bahak melihat kondisi ini.
Heummm, setelah keluarga kami
disambut oleh keluarga calon suami saya. Kami menuju musholla yang dekat dengan
rumah calon mertua saya. Lagi-lagi, disini saya dibanyol lagi.
“walah is is…nimbo hahahaha”
tuh sawahnya hijau kann,,itu mushollanya...
Sontak
kami sekeluarga tertawa karena ambil wudhunya ngantri nimba dulu, tepat di
depan musholla ada sungai kecil atau wangan
tapi disini airnya benar-benar jernih sekali. Disini paman dan kakak-kakak saya terkejut
karena di Ponorogo terkenal dengan daerah yang gersang, tapi disini mereka
terkejut dengan keadaan sawah yang hijau dan air yang mengalir jernih. Selain itu
rumah-rumah di daerah calon suami saya benar-benar jauh dari fikiran mereka, ada
yang masih gubuk dan banyak sekali yang rumah gedong atau mewah. Setelah kami
shalat, kami menikmati hidangan makan siang. Disini bibi saya terkejut dengan
hidangan-hidangan yang ada, sayur mayor warna-warni dan aneka hidangan lainnya
yang bagi bibi saya sudah seperti di kota. Omah
ndeso panganan kuto….hahahaha
Lalu,
apa yang terjadi selanjutnya….
Alhamdulillah wa syukrillah, sekarang saya
sudah menikah dan ikut suami tinggal di Batam. Sampai saat ini yang paling
berkesan dari pernikahan kami yaitu pada saat pertama kali ke Ponorogo ke rumah
mertua saya. Tapi entah saya betah sekali jika berlama-lama di Ponorogo, selain
hawanya yang sejuk, angin semilir, bunyi layang-layang yang setia menemani
hari-hari kami di dalam maupun diluar rumah.
Satu lagi yaitu makanannya, pecel Ponorogo sama tempe goreng lebarnya,
sate Ponorogo yang super gede-gede dagingnya. Heummmm,nyem nyem teman-teman…
Ini nih rumah khas Ponorogo,ini acara mbubak.jam 12 malam dibangunin buat acara ini...
Dan
ternyata pandangan pertama itu tidak selalu indah, ada kalanya menyenangkan dan
sebaliknya tidak menyenangkan. Bagi saya pandangan pertama mengembalikan
lamaran benar-benar mengejutkan sekali. Bukan hanya bagi keluarga saya, tapi
bagi saya sendiri itu sangat-sangat surprise
benar-benar tidak terduga sama sekali. That’s why I miss this moment, really….
***
Batam,
28 desember 2012
ini kondisi belakang rumah,naik naik ke puncak gunung hehe..
Weekend
paling enak memang jalan-jalan, di Batam jalan pagi sudah sering. Jalan jelang
siang hari tak banyak peminat, masalahnya ada di cuaca. Panasnya itu nggak
nguatin, panas banget deh. Sore kemarin tiba-tiba suami ngajak jalan ke
barelang, sontak sayapun langsung senang. Selain belum pernah ke sana, kata
orang kalau belum menginjakkan kaki ke jembatan barelang belum sampai Batam.
Aih, saya sudah hampir 8 bulan disini dan sudah merasakan air minum Batam.
Jadinya saya sudah sampai Batam hahaha.
Berangkat
dari rumah setelah shalat ashar jam 15.50, perjalanan dimulai dari Batam centre
- Muka kuning - Batu aji setelahnya saya kurang tahu nama daerahnya karena
kanan kiri jalan sepi penghuni, hanya ada beberapa rumah dan lebih banyak hutan
tapi jalanan lumayan ramai. Maklumlah ini kan last weekend, dari jauh tiba-tiba
mata saya tertuju pada bangunan beton yang menjulang tinggi. Yiiiha itu dia
jembatan barelang, satu-satunya ikon yang terkenal di pulau Batam. Sampai juga
di jembatan barelang, wow…benar-benar indah, kanan kiri jalanan banyak motor
dan mobil yang berhenti untuk menikmati indahnya lautan yang hijau. Heummm, tak
lupa waktunya jeprat-jepret. Ternyata jembatan barelang itu ada dua, yang
pertama jembatan barelang yang ada tiang dan jaring-jaringnya dan yang kedua
jembatan tidak ada tiang dan jaring. Antara jembatan barelang satu dan dua itu
dihubungkan oleh pulau kecil. Benar-benar indah lokasinya, oh iya perlu
diketahui bahwa jembatan barelang itu menghubungkan antara dua pulau yaitu
pulau Batam dengan pulau Nipah. Dari pada banyak cerita, yuk dilihat koleksi
jeprat-jepret ala Zwan hehe..
Ini dia jembatan Barelang Batam...itu jembatan satu dan dua...
Dadaku berdetak kencang, entah
penyebabnya apa akupun tak tahu. Yang ada hanya suara pintu terbuka. Perlahan
aku turun dari ranjang tempat aku berbaring saat ini, dan berjalan menuju ruang
tamu. Tak ada siapa-siapa, hanya jejak sandal yang mengotori ruang tamuku. Aku
melihat amplop berwarna berwarna biru yang tergletak di meja, apa ini?batinku
dalam hati.
12 12
12
Hanya tiga baris dengan angka yang
sama, ditulis dengan bolpoin merah besar. Entah siapa yang berani masuk rumahku
siang bolong seperti ini. Dirumah ini hanya ada dua kunci pemberian dari bu
Meli, warga setempat yang mengontrakkan rumahnya pada kami. Aku bawa satu, satu
lagi dibawa oleh suamiku Wingli. Jam segini tidak mungkin Wingli pulang dan
tanpa bertemu denganku, aneh.
Aku dan Wingli menikah hampir 10
tahun, belum dikaruniai anak satupun. Aku tahu Wingli sibuk dengan
pekerjaannya, bisa dihitung denga jari. 10 tahun pulang 10 kali saat bulan juli
dan hanya satu jam ia berada di rumah,hanya membawa oleh-oleh dari tempat ia
berlayar dan langsung berkemas lagi meninggalkanku. Komunikasi antara kamipun
tidak lancar, aku hanya bisa diam dan tak mampu berkata. Kata tetangga Wingli
sudah menikah lagi, tapi aku tidak serta merta mempercayainya. Aku lebih suka
menyendiri di dalam rumah, bukankah menjadi tuli itu lebih berharga dari
segalanya?.
17.30 wib
Setelah membereskan dapur, aku
berniat untuk membuang sampah yang sudah bau dan hampir membusuk. Tapi
langkahku dikagetkan oleh lembaran kertas putih yang berukuran besar, perlahan
aku mengambil kerta itu dan membaliknya. Lagi-lagi tulisan angka tiga baris
yang sama, 12 12 12. Aku menghela nafas panjang, dengan menjinjing kantong
plastik aku keluar dan membuang sampah. Di warung depan segerombolan ibu-ibu
sudah memandangku, seolah-olah aku seorang buronan atau bahkan lebih dari itu. Lagi-lagi
aku memilih untuk tuli dan buta.
12 Desember 2012
11,40
Siang
ini aku bersiap mengepak seluruh barang milikku, untuk apa aku tinggal di kota
Jakarta seorang diri. Bahkan sepertinya dunia sudah menolakku untuk berada di
bumi ini, aku lelah. Satu surat perceraian aku masukkan dalam amplop coklat,
untuk Wingli. Bukan karena aku masih perawan, aku lelah dengan keadaan ini. Aku
ingin pulang memeluk emak di
Lamongan, mengajar les dan tanpa satu ikatan.
12.12 wib
Aku
mendengar suara ketukan pintu, sosok yang aku kenal tapi tidak seperti
biasanya. Duduk di kursi roda dengan memakai kaos merah hati pemberianku,
Wingli. Aku terdiam beberapa menit, tak berapa lama aku mendengar Wingli
bersuara.
Sepurane seng
akeh yo dek…sepurane seng akeh…
Ujarnya sambil berlinang air mata, deras sekali
batinku dalam hati. Tanpa disuruh, spontan aku bertekuk lutut dan mencium
tangan yang dulu lembut kini menjadi kasar. Entah apa yang terjadi dengannya,
aku tak tahu. Nomor handphone-nya
tidak lagi bisa dihubungi dua tahun ini, dan saat ini Wingli ada di depanku.
Duduk di kursi roda, dengan hanya satu tangan tersisa. Aku memeluknya
erat-erat…